“Tentu saja temuan-temuan itu kami laporkan ke Bawaslu. Kalau dari jumlahnya cukup banyak,” ucap dia.
“Untuk akses, dari KPU ke teman-teman pekerja migran itu cukup bagus. Artinya secara tahapan pencoblosan sudah ada fasilitas yang memudahkan pekerja migran, termasuk pekerja migran yang disabilitas, contoh bagi penderita hemodialisa, ada petugas dari KPU yang secara aktif datang ke tempat pemilih, membantu memudahkan si pemilih untuk mencoblos,” kata Mulyadi.
Namun, temuan lain menunjukkan ada banyak pekerja migran yang tidak bisa menyalurkan hak pilihnya lantaran saat tahap pemungutan suara sudah berada di negara tempat mereka bekerja. Padahal nama mereka juga masih masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan memiliki KTP asal atau domisili.
Ia mencontohkan ada buruh migran yang beralamat di Sragen, Jawa Tengah. Dia baru berangkat sekitar 3-4 lalu ke negara tujuannya bekerja. Dan saat waktu pencoblosan pada 27 November 2024 lalu, mereka akhirnya tak bisa mencoblos.
Berbeda dengan saat Pilpres 2024 lalu, para pekerja migran bisa menyalurkan hak pilihnya karena KPU menyediakan TPS di luar negeri. Namun dalam Pilkada hal ini tidak ada, sehingga para pekerja migran tak bisa mencoblos meski mereka masih masuk dalam daftar pemilih tetap di daerah asalnya.
“Itu yang kemarin kami usulkan, harus ada mekanisme sehingga Pilkada juga bisa diakses oleh teman-teman pekerja migran yang bekerja di luar negeri,” ujar Mulyadi.